Anything about comparing

Saya ga tahu kapan orang-orang mulai percaya bahwa comparing one to another will make him/her feel motivated. Yang saya tahu suatu pribadi sangat unik, spesifik, dan uncomparable to other individuals. Banyak orang yang membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Padahal belum tentu yang dia ketahui sudah mencakup semua informasi yang cukup untuk dibandingkan satu sama lain. Jika kita mengambil hipotesis berdasarkan satu observasi sekejap mata dan menerapkan hipotesis tersebut kepada kasus lain yang totally different, apakah akan menghasilkan kesimpulan yang benar? Di sisi lain, apakah ada kemungkinan malah kasus yang dijadikan obyek observasi ini mendapatkan dampak negatif karena mendapatkan treatment yang tidak sesuai dengan dia? Mungkin menimbulkan rasa ga pernah puas dengan pencapaian yang dia lakukan karena dia lebih banyak fokus pada kiri-kanan ketimbang pada dirinya sendiri.

Mungkin ini alasannya mengapa metode comparative study punya kelebihan dan kekurangan. Metode ini sebenarnya bisa jadi solusi yang baik kalau sudah melalui proses kontekstualisasi ke dalam kasus kedua. Misalnya dari kasus pertama diambil hipotesis, lalu diterapkan ke kasus kedua dengan melibatkan proses kontekstualisasi, alias memahami dulu kondisi kasus kedua seperti apa sebelum menerapkan hipotesis yang diambil dari kasus pertama. Proses kontekstualisasi bisa dilakukan dengan melihat persamaan dan perbedaan dari kasus pertama dan kasus kedua. Kalau salah analisis yaa pasti sedikitnya ada dampak both positive dan negative pada kasus kedua.

Kalau melihat ribetnya metode comparative, memang kita harus hati-hati banget dalam comparing one to another. Padahal yang banyak kejadian, banyak banget orang yang cepat mengambil hipotesis dan langsung ambil kesimpulan dari sana. I believe the world and its people are getting better, but maybe the progress will go on so slowly karena kurangnya diskusi atau komunikasi dua arah. Ya, karena budaya kita kurang mengajarkan pentingnya komunikasi dua arah. Padahal proses komunikasi dua arah itu bagus untuk keduanya saling belajar dan menambah informasi yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Ini memang jadi kekurangan budaya ketimuran yang struktur sosialnya jelas antara kaya-miskin, orang tua-anak, kakak-adik, tua-muda, dll.

Dalam tataran yang lebih sederhana, comparing one to another bisa juga menandakan bahwa they are insecure with their current condition. Mereka tidak nyaman dengan kondisi yang sedang mereka jalani. Positifnya, mereka memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik (berdasarkan definisi "lebih baik" yang mereka pahami). Namun, negatifnya mereka tidak merasa puas dengan pencapaian yang mereka peroleh. Gampangnya, perlu untuk memilah-milah emosi mana yang positif dan negatif, lalu menerapkan yang positif saja. Jika comparing membuat kita termotivasi, it is okay. Namun jika comparing hanya membuat diri kita lelah, feeling insecure, dan malah jadi julid, kenapa kita masih sibuk memelihara emosi seperti itu?

Duh, jadi pengen nulis juga soal fenomena julid di masyarakat. Maybe in the next post :)

Comments

Popular Posts