Memahami Perbedaan

Sebelum membaca posting ini, mari kita ucapkan Bismillah dengan hati yang tulus, ikhlas dan menganut azas praduga tak-offense. Lalu setelah itu mari kita tarik nafas sedalam lautan biru sambil mengelus dada yang seluas kening Fitri Tropica (*main fisik).

Melihat kekurangan orang lain jauh lebih mudah daripada mengerjakan soal trigonometri. Dan saya mengakui kalau pepatah "Semut di seberang lautan tampak, tapi badak di pelupuk mata tidak tampak." Harap diingat sebenernya tulisan ini ga ada maksud menyerang salah satu kelompok sosial yang imoet-imoet, cuma sekedar komentar ecek-ecek yang juga ditujukan untuk diri saya sendiri. Bahan introspeksi yang didapat dari hasil mengamati tingkah laku orang lain. Oke :D


Hampir empat tahun hidup sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu bahasa cukup memberi ilmu tentang dua sudut pandang bahasa; yaitu preskriptiv dan deskriptiv. Preskriptiv ialah sudut pandang bahasa sebagai suatu peraturan yang absolut. Harus begini dan begitu, jika melanggar peraturan itu, maka dianggap salah.

Sedangkan deskriptiv adalah pandangan bahwa bahasa didasari oleh penggunaan sosial masyarakat yang terus 'bergerak.' Selalu berubah mengikuti zaman. Maka peraturan bahasanya pun tidak mutlak dan banyak variasi disana-sini. Otomatis para peneliti bahasa melihat pandangan deskriptiv sebagai lahan penelitian yang menggiurkan. Karena semakin banyak perbedaan yang mereka temukan, semakin banyak pundi-pundi uang yang mereka dapat dari hasil penelitian perbedaan itu.

Tanpa dianalisis menggunakan analisis wacana kritis, kentara banget paragraf di atas menunjukkan saya termasuk pendukung aliran deskriptiv. Perbedaan tetap ada sebagai 'identitas.' Setiap hal tidak bisa dipaksakan sama karna jika sama, maka mereka akan kehilangan identitas.

Identitas digunakan sebagai penanda atau ciri khas pada tiap kelompok sosial. Namun yang saya lihat perbedaan sudah banyak disalahartikan, sebagai sebuah 'pelanggaran' atau 'kesalahan'. Banyak yang sudah menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang bikin gatel-gatel. Jadi perbedaan itu harus dihilangkan dan semuanya harus sama mengikuti kelompok mayoritas.

Tapi saya juga ga menganggap perbedaan ini sebagai victim karena banyak juga para victim yang merasa paling tertindas dan mencoba bangkit dengan mengembangkan kelompok minornya menjadi kelompok mayoritas dengan tujuan menyerang kelompok mayoritas sebelumnya. Jika kembali pada akar permasalahan, masalah ini muncul karna banyak pihak yang kurang pandai memahami perbedaan. Saat menemui perbedaan, banyak pihak yang nyinyir dan melontarkan kata-kata bernada menghina. Kadang dilakukan dengan cara frontal yang mungkin menyerang pihak lain [Banyak orang yang menganggap bicara frontal adalah sesuatu yang berani, tapi saya dengan segala kerendahan hati menganggap hal itu kurang sopan :) ]

Keberanian mengutarakan perbedaan tidak harus dipandang negativ, tapi cara mengutarakan perbedaan itu juga sebaiknya dengan cara yang santun. Jadi, yang harus dihindari adalah merasa diri paling benar, dan yang harus ditingkatkan adalah memahami perbedaan.

Kembali pada inti paragraf pertama dan kedua tadi, sebaiknya gunakan azas praduga tak-offense. Setiap tulisan yang saya buat ditujukan untuk diri saya juga sebagai bahan introspeksi. Cinta damai !

Sumber gambar:
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTKIBrGZaENia9zP_1To5w4Fuunh32rO97IiAK1bvj6MBFuB_90

Comments

Popular Posts