Self-healing amid the pandemic in 2020 (Part 2) - Melawan stigma

Melanjutkan postingan sebelumnya tentang menjalani proses self-healing di tengah pandemik Corona tahun 2020, saya mau berbagi pengalaman pribadi self-healing itu dengan lebih detail di postingan ini. I never imagined that I could embrace depression and make it my best friend ever. Dimulai dari trauma emosional beberapa tahun lalu yang menandai pertama kalinya saya punya suicidal thought, sulit konsentrasi, ga fokus, bicaranya kacau, menarik diri dari lingkungan sosial, sering lupa, memori lemah, merasa sendirian, hilang arah, sering tersesat di kantor sendiri, sedih berkepanjangan, dll dsb. Sakit emosional ini juga berdampak pada fisik saya yang jadi lemah, tiba-tiba radang tenggorokan, demam, meriang, dan mual-mual. Saya juga sering nangis kejer sendirian di kosan tengah malam dan cuma bisa nelpon temen deket dan saudara yang berkenan mendengarkan cerita saya. Saudara saya waktu itu menemani saya tiap weekend agar saya ga sendirian dan berbuat yang aneh-aneh. Thanks a lot for you, guys! Saya hutang nyawa sama kalian.

Waktu itu saya yang belum paham dengan apa yang saya rasakan. Hanya berfikir bahwa saya sedang sedih atau stres. Saya merasa buntu tapi saya gatau harus ngapain. Beruntung saya masih punya agama yang mengurangi level depresi saya waktu itu. Ngaji, sholat malem, sholat wajib, berdoa, ikut tausyiah, dll saya lakukan untuk mengurangi level kesedihan dan kebingungan saya. Walaupun saya tetap merasa buntu dan ga tau harus melakukan apa. Satu hal yang saya yakini adalah fase ini pasti terlewati. Suatu hari nanti, pelan-pelan saya pasti kembali seperti dulu lagi.

But then it appeared leading to another direction. Saya jadi pribadi yang oversensitive, lebih overthinking, dan cemas di tengah lingkungan sosial. Temen-temen saya dulu pasti menilai saya sebagai pribadi yang cuek dan santai, tapi saat itu saya malah jadi sangat sibuk mencari pelarian kegiatan dan mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian saya untuk melupakan hal-hal yang membuat saya merasa lebih buruk. Saya bersyukur bahwa seburuk apapun pemikiran dan kondisi saya waktu itu, saya masih berusaha berbuat baik pada orang lain. Again. I became a people pleaser and it was so annoying for me. Berulang-ulang kali saya memberi sugesti pada diri sendiri bahwa saya pasti lupa, saya bisa lupa. Namun tindakan yang saya lakukan bertahun-tahun ini justru mengubur rasa sakit emosional itu, tanpa menyembuhkannya. 

Then Corona hits my world in the beginning of 2020. Memberikan waktu istirahat dari ritme hidup yang super cepat. Membuat saya beristirahat sejenak. Masa istirahat saya malah bikin saya merasa kacau, migrain, dan tiba-tiba sedih tanpa sebab. Sedikit saja trigger dari luar bikin saya kacau dan gamau bangun lagi besok pagi. Saya juga ingat masa-masa ketika saya sangat menikmati self-harm

God always shows me the way. Saya mulai reconnect dengan teman-teman lama, yang salah satunya mendalami ilmu psikologi. Dari proses reconnection dengan dia, saya sadar bahwa saya perlu melalui proses self-healing. And it was not easy. Ada beberapa fase saya lalui dalam upaya memulihkan kondisi saya:

Denial
Mungkin ini fase dari trauma sampai ke tahap saya sadar bahwa selama ini ada yang salah dengan diri saya, karena saya menolak semua emosi negatif yang saya rasakan. Menganggap saya ga seharusnya marah, saya ga seharusnya sedih, dan saya harus selalu positif dan ceria. Saya sembunyikan semua emosi negatif agar terlihat bermental baja walaupun sebenernya ambyaarrr. Dalam fase ini, saya merasa lebih buruk dan ga berani menatap diri sendiri di depan cermin. Mungkin ini dampak dari toxic positivity yang selama ini saya lakukan. Huft.

Katarsis
Ini fase ketika saya mulai berani membuka trauma yang saya abaikan. Saya tinggalkan trauma itu, tapi ternyata hal itu masih bersembunyi dan nempel dalam diri saya. Tanpa saya sadari, respon kecemasan, overthinking, oversensitive, dan respon negatif lainnya mungkin hasil dari trauma yang saya bawa-bawa dari dulu. Sulit banget melalui fase ini karena saya harus terima risiko dijulidin, mendapat respon yang tidak diharapkan, ditinggalin, dicuekin, dicap lebay, dll. Entah ada berapa orang yang kena dampak dari katarsis saya. I tried to select people carefully, tapi saya juga tetap harus siap menerima risiko di-judge, dll dsb. Pada fase ini yang bikin saya terharu adalah ternyata saya dikelilingi teman-teman yang baik dan suportif. Untungnya mereka nerima saya apa adanya, setia dengerin cerita saya, dan bisa memahami apa yang saya rasakan tanpa ngejudge balik, menyalahkan, dan membuat saya merasa lebih jatuh.

Blaming
Fase berikutnya adalah blaming semuanya, literally semuanya, termasuk diri saya sendiri. Saya merasa semuanya salah dan saya merasa memegang kendali atas kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Kondisi ini berujung pada hatred dan rebellion atas semua hal yang menggiring saya ke situasi itu. I was so savage and against everything. Di fase ini banyak banget yang kena dampaknya. Maapin yaah :(

Acceptance
Mulai membuka mata, fikiran, dan hati untuk keadaan yang ada saat ini. Ini bagian dari mindfulness yang diajarin Mas Adjie Santosoputro. Karena masih kebawa-bawa fase blaming, jadi saya ga begitu paham dengan ide mindfulness, jadi paling cuma nyoba meditasi dan latihan atur nafas gitu. Saya sendiri saat tulisan ini dibuat masih ada di fase post-blaming dan menuju acceptance. Masih belum kebayang gimana rasanya ada di fase acceptance, dan masih belum tau gimana caranya handle trigger yang datang biar bisa sampai ke tahap full acceptance. Sampai saat ini pun saya masih sering down dan sedih tiba-tiba. Seringnya muncul di pagi hari, yang bikin saya susah banget keluar kamar pagi-pagi. 

Forgiving
Kalau sudah menerima semua kondisi yang ada saat ini, mulai bisa masuk ke tahap memaafkan semua pihak yang pernah terlibat. I'd imagine this could be my fave phase walaupun belum sampai ke tahap ini :p kita lihat saja nanti yaa.

Keeping in memories
Saya kira memori buruk harus dilupakan, tapi ternyata justru harus diingat in a positive way. Karena dengan mengalami trauma itu maka kita jadi pribadi yang sekuat sekarang. Maka memori itu perlu dikenang untuk mengingat pelajaran yang kita terima. Kalau kita melupakan memori itu, justru kita juga melupakan pelajaran berharganya. Emosi yang tidak bisa dilupakan juga tidak perlu ditolak, malah sebaiknya diterima dan hanya sebatas diterima, ga lebih dari itu. It is okay to feel anything. Tidak ada emosi yang buruk, karena yang menentukan buruk tidaknya adalah bagaimana kita menanggapi emosi tersebut. Apapun yang kita rasakan valid dan normal. Yang perlu saya pelajari adalah bagaimana menentukan sikap atas emosi yang muncul. Apakah perlu menahan tangis jika sedih? Apakah harus pura-pura bahagia? :)

Banyak yang mengalami trauma, banyak juga yang punya caranya sendiri untuk melalui fase self-healing. Tapi saya suka karena melalui fase itu dengan langkah yang benar tanpa merusak kondisi apapun secara signifikan. Fase-fase yang saya lalui juga membentuk diri saya menjadi pribadi yang baru dan lebih baik. Sangat disayangkan karena saat ini masih banyak yang ga peduli dengan kesehatan mental dan menganggap itu cuma untuk orang yang lemah. Padahal ibaratnya orang diabetes, anemia, atau asam urat emang dianggap lemah juga? Belum lagi stigma di masyarakat yang bilang sakit mental artinya gila. Helaw, baca dong. baca :) jaman sekarang ga susah nyari informasi. Tinggal klik klik langsung bisa tau banyak. Aneh banget kalo masih ada yang percaya dengan stigma itu. Untuk temen-temen yang kebetulan baca tulisan ini dan ingin sharing, boleh ninggalin jejak di komen dulu ya. Selanjutnya kita bisa ngobrol banyak soal ini biar bisa saling support dan menguatkan.

Comments

Popular Posts